Kongres PSSI 2016, #SOS: Politik Uang No, Visi Misi Yes!

By Admin

nusakini.com--Jumat, 10 November 2016 bukan hanya dirayakan sebagai Hari Pahlawan oleh bangsa Indonesia. Tapi, juga akan menjadi era baru sepak bola Indonesia. Maklum, PSSI akan menggelar Kongres Biasa di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta untuk memilih Ketua Umum, dua wakil Ketua Umum, dan 12 anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI masa bakti 2016-2020. 

Berdasarkan hasil riset Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) #SOS (Save Our Soccer), total ada 86 nama yang akan bertarung memperebutkan 15 posisi inti di “kursi panas” PSSI. Rinciannya, sembilan calon Ketua Umum, 18 Calon Waketum, dan 59 calon Komite Eksekutif. Bila diringkas lagi sejatinya hanya ada 64 personil yang mencalonkan diri. Maklum, ada beberapa orang yang mencalonkan diri untuk tiga dan dua posisi sekaligus. 

Sehari jelang Kongres suasana panas sudah terasa. Dari Sembilan calon Ketum, kini mengerucut menjadi hanya dua kandidat kuat: Jenderal (Pur) Muldoko dan Pangkostrad Letjen Edy Rahmayadi. Dua jenderal inilah yang akan melakukan “perang” terbuka di Kongres. Untuk memenangkan perang segala cara dilakukan. Mulai dari mengkarantina voter. Melakukan pengawalan ketat sampai terdengar kabar tak sedap: terjadi transaksi “jual beli” suara alias money politics. 


“Buat pemilik, suara Kongres Pemilihan Ketua Umum PSSI tak ubahnya Hari Raya. Sejatinya tak ada yang berpikir tentang konsep sepak bola masa depan. Mayoritas hanya berpikir bagaimana mendapatkan “keuntungan” dari proses pemilihan. Ini sangat memprihatinkan,” kata Akmal Marhali, Koordinator #SOS. “Politik Uang menjadi budaya yang sejatinya harus diperangi. Tapi, karena mayoritas pengurus bola Indonesia masuk kategori ‘kaum miskin’ ini tak bisa dihindarkan,” Akmal menegaskan. 

Politik uang dalam Kongres PSSI sudah terjadi sejak era Nurdin Halid ketika pemilihan Ketua Umum PSSI di Hotel Indonesia pada 2003. Berlanjut sampai era Djohar Arifin Husein, dan La Nyalla Mattalitti. Sebelumnya tak ada praktik politik uang. Maklum, pengurus PSSI ditunjuk langsung oleh Presiden. 

Kini, budaya itu tampaknya masih akan berlanjut. Litbang #SOS mendapatkan informasi ada satu kubu yang sudah memberikan uang muka sampai 8.500 dolar AS per suara. Sementara kubu lain tak mau kalah. Kini, nilainya sudah mencapai Rp 1 miliar. Uang taktis itu secara tak langsung “membutakan” voter. Untuk menjaga agar suara tak lari, dua hari jelang Kongres, para voter pendukung diinapkan di satu tempat dan dikawal ketat.

Alih-alih untuk melakukan koordinasi, kubu Muldoko mengumpulkan pendukung setia dan pemilik suara di Hotel Royal, Kuningan. Sementara kubu Edy Rahmayadi “bertapa” di Hotel Borobudur. Hotel Marcure yang disiapkan sebagai tempat Kongres hanya menjadi tempat peristirahatan kawan-kawan para pemilik suara. Tim sukses Muldoko menyatakan sudah memegang 65 pemilik suara. Sementara kubu Edy Rahmayadi dengan K-85 mengaku solid dengan 85 suara.Bahkan, percaya diri kini sudah didukung 90 suara. Bila ditotal 65 tambah 90 berarti ada 155 suara. Padahal, pemilik suara PSSI hanya 105. 

“SOS berharap para pemilik suara menggunakan hati nuraninya saat pemilihan dengan memilih 15 paket exco berdasarkan kemampuan dan potensi perbaikan tata kelola sepak bola Indonesia. Bukan semata karena besaran uang. Katakan tidak pada politik uang!” kata Akmal. 

Untuk menghindari politik uang banyak cara yang bisa dilakukan. Pertama, #SOS berharap ada pemaparan visi dan misi calon Ketua Umum di Kongres sehingga voters tak memilih kucing dalam karung. Sayangnya, harapan ini nyaris tipis karena pemaparan visi dan misi caketum tak diagendakan. Berdasarkan jadwal Kongres yang dikirim PSSI ada 19 agenda. “Agendanya terlalu padat. Bahkan, ada agenda yang sebenarnya tidak perlu seperti pengesahan program jangka pendek dan jangka panjang. Harusnya, focus saja langsung ke proses pemilihan dengan menambah agenda pemaparan visi dan misi,” Akmal menegaskan. 

Kedua, voting terbuka. Ini salah satu cara paling efektif untuk menghindari politik uang. Sayangnya, dalam statute PSSI pasal 27 ayat 2 disebutkan bahwa pemilihan dilakukan tertutup dan untuk mengubahnya harus melalui Kongres. “Tapi, celah ini bisa disiasati. Apalagi, dalam poin 19 agenda Kongres acara tertulis hal-hal lain yang diusulkan Kongres. SOS berharap voter berani mengusulkan voting terbuka.Ini penting buat perbaikan sepak bola Indonesia. Pemaparan visi misi yes, money politics No!” Akmal mengungkapkan. (p/ab)